PENDAHULUAN
Tak lama lagi rakyat kecil akan merasakan pil pahit. Bersamaan gulung tikarnya semua sentra-sentra industri kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja. Pengangguran semakin berjibun. Orang miskin semakin berjejer-jejer, tanpa memiliki lagi harapan masa depan. Hal ini berkaitan dengan keputusan pemerintah, tentu dalam hal ini, langkah Presiden SBY, yang menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-Cina (CAFTA).
Sejatinya Indonesia terlalu memaksakan diri ikut ke dalam sistem perekonomian dunia, tanpa diserta pertimbangan yang matang. Sektor ekonomi menengah ke bawah masih sangat rapuh. Hal ini sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY, sektor ekonomi menengah ke bawah tidak pernah dibangun dengan sungguh-sungguh. Justru sejak zaman Orba sampai sekarang ini, justru yang mendapatkan proteksi, modal, dan lisensi, para pengusaha besar (konglomerat), yang sudah berubah menjadi kartel, dan menguasai jaringan usaha dari hulu sampai ke hilir.
Sementara itu, pengusaha menengah ke bawah, yagn notabene jumlah banyak, tak pernah mendapatkan sentuhan pemerintah, dan dibiarkan hidup dengan sendirinya. Pemerintah sejak zaman dinasti Soeharto sampai SBY, relatif sangat kecil porsi yang diberikan ke pengusaha menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, melalui aktivitas ekonomi di sektor riil. Pemerintah masih tetap bersikap konservatif, terus berkutat kebijakan pada sektor ekonomi makro. Sehingga dengan kebijakan seperti ini, tak mungkin mengangkat kehidupan pengusaha menengah kecil. Sampai sekarang suku bank yang ditetapkan Bank Central (BI), yang diatas 14 persen, yang tidak mungkin dapat menupang usaha-usaha sektor riil.
Ditengah-tengah sektor ekonomi dari kalangan pengusaha menegah kebawah yang megap-megap ini, Presiden SBY bersama denga pera pemimpin Asean menandatangani perjian CAFTA, yang akan berdampak hancurnya seluruh perekonomian rakyat. Indonesia akan hanya menjadi negara konsumen, yang akan menjual produk-produk barang-barang dari Cina. Aktivitas sektor indusrti kecil menengah akan punah dengan sendiri. Segala barang dari Cina pasti akan masuk kedalam pasar domestik Indonesia, dari kota sampai ke desa-desa. Tak ada barier (hambatan) atau restrik (pembatasan) dengan adanya perjanjian itu. Bahkan, sekarang saja belum diberlakukan perjanjian CAFTA, Indonesia sudah kebanjiran barang-barang dari Cina, baik yang legal atau illegal.
Tapi, bersamaan dengan CAFTA akan banyak pabrik yang gulung tikar, tidak akan mampu lagi, menghadapi gelombang serbuan dari barang-barang Cina, yang pasti membanjiri pasar domestik. Produk-produk ‘home industri’ Cina yang dibeli negara, kemudian di eksport ke negara-negara Asean itu, tak lain hanya menjadi pembunuh rakyat di kawasan Asean. Meskipun, negara-negara lain, diluar Indonesia sudah jauh lebih siap menghadapi serbuan barang-barang Cina dibandingkan dengan Indonesia. Karena, memang barang-barang Indonesia sangat tidak kompetitip, bukan hanya kaulitas yang rendah, tetapi juga harga yang mahal. Karena, produk barang-barang terlalu banyak dibenani variabel, diluar faktor ekonomi, seperti pungli, berbagai perizinan, dan juga upeti-upeti, yang mengakib atkan tambahan biaya.
Seharusnya pemerintah Indonesia melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan melindungi industri dalam negeri yang m asih dari kemampaun melakukan persaingan ditingkat regional, termasuk menghadpai barang-barang Cina. Cina yang memiliki jumlah penduduk sebesar 1,3 milyar, seharusnya menjadi pasar barang-barang dari negara-negara Asean, tetapi kenyataannya, negara-negara Asean yang menjadi tempat pembuangan barang-barang yang diproduksi oleh Cina.
Banyak negara-negara industri maju, yang bersikap proteksionis, khususnya untuk melindungi rakyat mereka. Amerika, Jepang, Perancis, dan beberapa negara lainnya, juga mereka melidungi rakyatnya. Petani di Amerika tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah Amerika, meskipun Amerika sudah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas, tapi Amerika bersikeras memberkan perlindungan para petani mereka dengan jalan memberikan subsidi.
Indonesia menghadapi masa depan yang suram dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang paling tinggi, hanya 6 persen, dan mungkin dibawah 6 persen, sangat sulit untuk mengatasi jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Sementara itu, pemerintah tidak mau melindungi pengusaha menengah dan kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja, tetapi justru sekarang ini pemerintah dalam hal ini Presiden SBY, ikut dalam perjanjian bebas dengan Cina melalui CAFTA, yang akhirnya akan mematikan seluruh sektor ekonomi menengah kebawah, yang banyak menopang mereka. Inilah pahitnya kehidupan di bawah pemeritahan rejim SBY.
Asset-asset negara dan sumber daya alam dikuasai asing, sementara sentra-sentra produksi rakyat habis akibat serbuan barang-barang Cina, inilah keadaan yang dihadapi Indonesia di masa depan. Wallahu’alam.
MEMBANGUN MASA DEPAN INDONESIA
Apakah Indonesia itu? Pertanyaan ini sederhana tetapi mendasar. Indonesia bukan hanya nama sebuah negara, tetapi juga sebuah bangsa yang memiliki sejumlah realitas-obyektif: baik dari segi geografisnya, budayanya, keragaman penduduknya, adat-istiadat dan agamanya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk (plural).
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan yang membentang dari Sabang (Aceh, Pulau Sumatera) sampai Merauke (Papua), secara geografis terdiri lebih dari 13.667 pulau. Letak geografisnya di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Hindia/Indonesia dan Pasifik). Negeri yang dilalui garis Kathulistiwa dan demikian luas ini beriklim tropis, dan memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Dari sudut demografi, Indonesia berpenduduk sekitar 210 juta jiwa lebih dan berada pada urutan keempat besar dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Dari sudut kekayaan budayanya, Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya multietnis, dengan lebih dari 100 etnis atau subetnis. Tercatat juga 583 bahasa dan dialek lokal di seluruh Indonesia, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Indonesia juga merupakan negara multireligius di mana terdapat berbagai agama, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Hal-hal di atas adalah realitas-realitas obyektif atau kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural. Besar karena, wilayahnya yang amat luas dan jumlah penduduknya yang demikian banyak. Plural, karena kenekaragaman budaya (suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama), yang secara filosofis terungkap dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).
Indonesia hadir tidak lepas dari konsep kehadiran sebuah negara-bangsa (nation-state) yang tumbuh dari kesadaran nasionalisme para pejuang dan Bapak Bangsa (the founding fathers). Munculnya kesadaran berbangsa, merupakan satu modal mendasar yang amat penting artinya bagi kehadiran bangsa Indonesia. Di situlah peran nasionalisme hadir dan mewarnai hadir dan berkembangnya sebuah bangsa. Bangsa, menurut Ernest Renan –yang pendapatnya sering dikutip Bung Karno itu–, hadir karena ada kesamaan nasib dan penderitaan, serta adanya semangat dan tekad untuk berhimpun dalam sebuah “nation” atau bangsa. Lebih jauh Renan berpendapat, bangsa ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran akan pentingnya berkorban dan hidup bersama-sama di tengah perbedaan, dan mereka dipersatukan oleh adanya visi bersama.
Jadi, bangsa hadir, bukan dikarenakan ada kesamaan budaya, suku, ras, etnisitas, agama dan pertimbangan-pertimbangan primordial lain, tetapi lebih pada adanya kesamaan nasib dan keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas bangsa. Dalam konteks ini maka bangsa adalah sebuah komunitas pasca-primordial –di mana realitas pluralisme atau kenyataan kemajemukan bangsa bukan lagi dipandang sebagai masalah, tetapi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, dan justru merupakan modal utama bangsa itu.
Nasionalisme atau rasa dan tanggung jawab kebangsaan tersebut merupakan sesuatu yang penting di dalam proses “character and nation building”. Tidak ada bangsa hadir tanpa nasionalisme –tentu saja dengan kadar dan konteks masing-masing, sesuai dengan histori dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Nasionalisme dan proses berbangsa, justru baru dimulai dan memperoleh tantangan-tantangan baru setelah bangsa itu sendiri hadir.
Kesadaran nasionalisme Indonesia tak lepas dari era kebangkitan nasional 1908, dan Sumpah pemuda 1928 yang telah meninggalkan dokumen amat mendasar sebagai wujud dari adanya kesamaan nasib dan solidaritas bersama untuk: bertanah air, bertumpah darah, dan berbahasa satu: Indonesia. Jadi hakikat nasionalisme makin artikulatif: menuju kemerdekaan sebuah bangsa bernama Indonesia.
Jadi kehadiran Indonesia tumbuh atas kesadaran bersama segenap elemen yang ada untuk bersama-sama mewujudkan, memelihara dan memajukannya. Indonesia hadir bukan atas pemberian kaum penjajah. Ini suatu modal sejarah yang amat berharga. Kita harus mensyukuri modal sejarah yang kita miliki tersebut, dengan melakukan upaya dan tindakan nyata dan terbaik bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kini, yang lebih penting adalah bagaimana mendesain masa depan Indonesia yang lebih baik.
Visi Indonesia: Pancasila
Di atas telah disinggung bahwa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa, etnisitas, bahasa, agama, dan adat-istiadat, yang satu sama lain saling memperkaya bangunan kebangsaan yang plural dan kokoh. Dengan kata lain, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Komposisi keragaman dan kemajemukan bangsa merupakan suatu realitas-objektif, yang merupakan modal modal berharga bagi pembentukan jati diri dan karakter bangsa, yang diikat oleh konsensus dasar Pancasila.
Di dalam Filosofi Pancasila tergambar bagaimana karakter bangsa Indonesia yang diharapkan, yakni bangsa yang: (1) Ber-Ketuhanan yang Maha esa; (2) Ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Senantiasa berada dalam Persatuan indonesia; (4) Melaksanakan Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (5) Mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah konsensus dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ada pada saat ini memiliki sejarah yang panjang, mengalami beberapa fase penjajahan bangsa asing. Dengan pengalaman yang panjang tersebut, para Bapak Bangsa (The Founding Father’s) lantas merumuskan konsepsi dasar yang tepat bagi kehadiran sebuah negara-bangsa baru bernama Indonesia. Sejak kemerdekaannya 17 Agustus 1945 hingga kini, sesungguhnya bangsa Indonesia tengah berupaya untuk memperkokoh “nation and character building”.
Sebagai bangsa yang telah berusia setengah abad lebih ini, Indonesia terus berproses dan berkembang seiring dengan “nation and character building” tersebut. Selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang harmonis, ramah, dan tingkat toleransi yang tinggi. Kesan demikian, khususnya pada era reformasi tampak kian pudar, seiring dengan munculnya banyak konflik sosial secara horisontal di kalangan masyarakat, dan banyaknya kerusuhan sosial yang terjadi. Tentu saja berbagai kejadian yang muncul tersebut menodai proses “nation and character building”. Kini saatnya bangsa Indonesia menunjukkan kembali karakternya sebagai bangsa yang ber-Pancasila dan bermartabat.
Visi Pancasila itulah yang seharusnya menjadi visi bersama para pemimpin bangsa. Satu visi yang melandasi upaya pencapaian cita-cita bangsa, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945: (1) memajukan kesejateraan umum; (2) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (3) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Guna mewujudkan visi dan tujuan bangsa itulah, diperlukan identifikasi terhadap kompleksitas permasalahan bangsa di berbagai bidang, serta diperlukan blue print, sebagai strategi yang bersifat mendasar, baik jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang.
Kompleksitas Tantangan Bangsa
Dewasa ini Indonesia berada di tengah era baru, yang dinamakan era reformasi. Kondisi bangsa kita di era reformasi ini, antara lain ditandai dengan beberapa fenomena yang mengemuka sebagai tantangan. Apabila diidentifikasi maka secara umum dapat dicatat berbagai fenomena berikut: Pertama, di bidang ekonomi, kondisinya masih belum pulih. Tingkat pengangguran tinggi. Kemiskinan cenderung naik. Tingkat investasi masih belum optimal. Pertumbuhan ekonomi cenderung lambat. Daya saing kita cenderung melemah. Singkat kata, dunia ekonomi kita belum sepenuhnya membaik.
Kedua, di bidang politik sudah ada perkembangan-perkembangan signifikan dan penting: demokratisasi politik telah berjalan. Namun demikian, kita masih menjumpai adanya beberapa kelemahan dalam sistem kepolitikan nasional kita: misalnya, di satu sisi sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensial, tetapi di sisi lain kenyataannya terdapat banyak partai politik yang cenderung mengarah pada praktik sistem parlementer. Terkait dengan ini pula, kita juga merasakan kepemimpinan secara nasional belum sepenuhnya efektif dalam mengejar ketertinggalan-ketertinggalan yang ada, dan mempercepat gerak-laju pembangunan.
Ketiga, di bidang hukum, upaya reformasi terus dilakukan termasuk dalam pemberantasan korupsi, tetapi masih banyak catatan tersisa, bahwa praktik-praktik dunia hukum kita masih belum mengarah pada penguatan kepastian hukum. Masih banyak yang perlu dibenahi dalam rangka penguatan pembangunan di bidang hukum di era reformasi saat ini. Keempat, Di bidang kebudayaan, kita melihat kecenderungan-kecenderungan yang menjauhkan kita dari hakikat jati diri bangsa Indonesia. Kelima, di bidang sosial-kemasyarakatan, kita juga masih menyaksikan berbagai problem yang kompleks: dari bencana alam yang datang bertubi-tubi, ancaman penyakit HIV/AIDS dan flu burung, hingga masih adanya potensi konflik horisontal yang mengancam masa depan integrasi Indonesia.
Masalah-masalah kita sebagai bangsa memang kompleks, seiring dengan makin berkembangnya dinamika zaman: arus globalisasi yang demikian mengalir secara deras dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita tidak boleh berputus asa dalam menghadapi tantangan dan kendala yang ada, sebaliknya kita harus berpikir cerdas dan bekerja keras bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Betapapun kompleksnya tantangan yang kita hadapi, kita harus tetap mencintai bangsa ini. Bangsa di mana kita dilahirkan dan dibesarkan, bangsa yang memberikan harapan akan masa depan kita semua. Sebagai wujud cinta kita kepada bangsa, maka kita harus mengembangkan rasa tanggung jawab, di samping secara mendasar kita harus memahami hakikat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki nilai-nilai dasar (basic values) Pancasila. Kita juga harus paham atas visi, tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 –sebagaimana dikemukakan di atas.
Kepemimpinan, Tanggungjawab, dan Upaya Bersama
Di era demokrasi politik yang dijalankan secara sistemik di era reformasi ini, peran kepemimpinan nasional sangat penting. Pemimpin bangsa merupakan nakhoda yang hendak membawa bangsa ini menuju pelabuhan cita-cita bangsa. Sebagaimana pernah penulis tulis di Jurnal Negarawan Setneg RI, kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang negarawan, yang memiliki komitmen yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat, memajukan bangsa dan negara.
Watak kenegarawanan menuntut untuk meminimalisasikan kepentingan pribadi dan kelompok, dan sebaliknya memaksimalisasikan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak memandang apa latar belakang politiknya. Sebagai bangsa yang besar, kita membutuhkan pemimpin yang teladan, yang mampu membuat kebijakan-kebijakan yang nyata dalam mengejar ketertinggalan. Pemimpin yang demikian itu tidak saja visioner, tetapi juga berwibawa dan memiliki tingkat legitimasi yang tinggi (kuat).
Kepemimpinan yang visioner, kuat dan transformatif, bagaimanapun akan mendorong masyarakat dan segenap elemen bangsa untuk semakin merasakan atau memiliki tanggung jawab bersama dalam memajukan bangsa. Perwujudan dari rasa tanggung jawab kebangsaan tersebut, antara lain dapat dilakukan dengan: (1) mengembangkan sikap toleransi, obyektif, serta adil dalam memandang hakikat pluralisme bangsa. Karena itulah, sebagai warga bangsa kita membutuhkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi; (2) mengembangkan sikap moderat, tidak primordial-ekstrim; (3) mampu berkomunikasi dengan semua kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk tadi, dengan penuh empati dan penghormatan atas realitas perbedaan yang ada –tidak bersikap eksklusif, primordial dan mengembangkan sikap permusuhan; (4) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di berbagai bidang, dengan menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masa depan bangsa.
Dengan landasan sikap dan tanggung jawab itulah, maka selain kita mampu memperkuat jati diri bangsa (Indonesia), juga berimplikasi etis dan produktif. Dengan kebijakan ekonomi yang ditopang oleh kepastian hukum dan etos kerja yang tinggi dari segenap elemen bangsa, terutama para pelaku ekonomi, maka kita optimis, roda perekonomian nasional akan bergerak semakin cepat, seiring dengan pemanfaatan potensi sumber daya alam kita yang melimpah –yang dikelola oleh tangan-tangan terampil sumber daya manusia yang andal.
Konsolidasi Demokrasi
Dalam konteks implementasi sistem politik yang demokratis di Indonesia, maka upaya untuk menuju kondisi di atas, memerlukan dukungan mutlak dari terwujudnya konsolidasi demokrasi yang berkualitas. Pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, kaitannya dengan hal tersebut adalah, bagaimana mengupayakan terwujudnya stabilitas politik yang demokratis. Kestabilan politik di era demokrasi terkait dengan konteks checks and balances. Di sinilah diperlukan peran para aktor dan agen politik yang mampu menentukan kualitas formasi politik, dalam arti apakah pola-pola koalisi politik yang hadir, betul-betul mengarah pada stabilitas politik yang terkendali secara demokratis. Di atas semua itu tentu diperlukan optimalisasi atas kesadaran dan aktualisasi demokrasi substansial (nilai-nilai demokrasi).
Peningkatan kualitas demokrasi dan pembangunan ekonomi, bagaimanapun harus berjalan seiring sejalan, dan saling menopang. Demokrasi dan kesejahteraan, bagaimanapun merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Proses demokrasi harus mengarah pada kondisi masyarakat yang damai dan sejahtera. Sedangkan pembangunan ekonomi pun harus mengarah pada peningkatan kualitas demokrasi. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada berjudul Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia, Prof. Dr. Boediono mengingatkan bahwa, tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi. Pada tingkat penghasilan perkapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500. Menurut Boediono, pada tahun 2006 penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 US dollar, sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600 dolar, maka artinya, kita belum 2/3 jalan menuju batas aman bagi demokrasi. Apa yang dikemukakan oleh Boediono tersebut merupakan sinyal, bahwa bangsa Indonesia masih harus bekerja keras dan cerdas dalam upayanya menuju “batas aman demokrasi”. Hal demikian tentu menjadi “pekerjaan rumah” kita bersama.
Desain kita tentang sistem politik masa depan, diharapkan makin mantap dan tidak menyisakan berbagai rancu. Oleh karenanya perlu diupayakan: (1) penguatan sistem presidensial; (2) sistem kepartaian yang ada mengarah pada sistem multipartai sederhana; (3) penguatan sistem ketatanegaraan sehingga kelembagaan trias politika (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) berjalan secara optimal; (4) terwujudnya praktik demokrasi politik “checks and balances”.
Di sisi lain kita juga harus mengarahkan penguatan kelembagaan partai-partai politik, sehingga partai-partai politik benar-benar optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya seperti (1) fungsi pendidikan politik; (2) rekruitmen politik, regenerasi dan sirkulasi elit; (3) fungsi agregasi politik dan aksentuasi aspirasi publik; hingga (4) fungsi manajemen konflik. Selain itu, potensi-potensi kepemimpinan masa depan harus terus dipupuk, sehingga di masa yang akan datang, kita tidak akan menemui krisis kepemimpinan –di berbagai bidang.
Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Pondasi Multikultural
Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut:
• a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
• b) Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan sistem dari masing-masing kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
• c) Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan sebagai modal terciptanya semangat persatuan dan kesatuan.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian. Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana Bhineka Tunggal Ika perlu menjadi ruh atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan keputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara. Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
• a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam konsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
• b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitimate) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
• c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi politik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga.
Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan “Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.
Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru dengan kebijakan inilah kita dapat memaknai Bhinneka Tunggal Ika secara baik, seimbang dan proporsional. Dengan kebijakan ini pula kita dapat membangun masa depan bangsa melalui penerapan “Persatuan Indonesia” serta mengembangkan semangat nasionalisme sebagaimana diharapkan.
Agenda Jangka Menengah dan Panjang
Untuk jangka waktu menengah dan panjang, ada lima agenda yang perlu dilakukan untuk membangun bangsa Indonesia ke depan. Pertama, bagaimana agar seluruh komponen bangsa dapat kembali pada komitmen bersama yang mendasari lahirnya Republik Indonesia. Kita perlu menghidupkan kembali dalam arti yang sedalam-dalamnya semangat Sumpah Pemuda. Kita juga perlu memperbaharui cita-cita para “pendiri bangsa”. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dihayati dan diamalkan kembali dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya harus dijadikan landasan tetap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita perlu memperbarui makna dan pemahaman pada Pancasila yang sesuai dengan cita-cita di awal kemerdekaan dan cita-cita reformasi. Penerimaan terhadap landasan dasar negara ini akan menghindarkan bangsa Indonesia dari konflik ideologi yang tidak berkesudahan.
Kedua, mengkonsolidasikan demokrasi. Ada lima langkah yang harus ditempuh bangsa Indonesia dalam rangka konsolidasi demokrasi, yaitu:
1. Membangun landasan konstitusional yang mampu menjamin keberlangsungan demokrasi. Untuk ini diperlukan UUD yang telah mengalami pembaruan dalam bentuk amandemen, sesuai dengan keadaan nasional maupun global, yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan globalisasi dengan segala akibatnya. Untuk itu perlu dibentuk suatu Komisi Negara, yang terdiri dari sejumlah ahli, untuk menyusun konsep penyempurnaan UUD 45 yang lebih komprehensif, yang mampu mengantar bangsa Indonesia memasuki abad pertama milenium ketiga.
2. Membangun serta memperkuat institusi-institusi demokrasi, seperti: berlakunya Trias Politika dalam kehidupan politik, berkembangnya Masyarakat Madani, dan berlangsungnya Supremasi Hukum. Di samping itu, perlu dipertegas berbagai hal yang berkaitan dengan tugas-tugas pokok Polri dan TNI dalam sistem pertahanan dan keamanan.
3. Menaati proses dan mekanisme demokrasi, antara lain dalam hal: saling menghargai perbedaan pendapat, menyelesaikan konflik melalui dialog dan cara-cara damai, menabukan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam menyelesaikan konflik, dan menghindari politisasi agama.
4. Penghormatan terhadap HAM, antara lain dalam bentuk: menjamin civil and political rights yang merupakan dasar demokrasi dan menjamin kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan lain-lain.
Ketiga, membangun hubungan yang setara dan adil antara pusat dan daerah. Hal ini diwujudkan, antara lain dengan:
1. Melaksanakan otonomi daerah secara bertahap tapi bersungguh-sungguh, termasuk mempersiapkan berbagai peraturan perundangan dan infrastruktur yang memadai.
2. Menjamin keadilan dalam pembagian kekayaan antara pusat dan daerah serta antara daerah yang kaya dengan yang miskin.
Keempat, mengembalikan momentum pembangunan nasional, yang dilaksanakan dengan merujuk pada UUD 45 yang telah disempurnakan serta sejalan dengan aspirasi rakyat yang tertuang dalam berbagai Ketetapan MPR, terutama dalam mewujudkan kehidupan demokrasi dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia sebagai wahana tercapainya masyarakat madani. Kembalinya momentum pembangunan diupayakan dapat mencapai pertumbuhan minimum yang mampu menampung dan menyiapkan lapangan kerja bagi generasi penerus yang semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun.
Kelima, memperbaiki citra RI di dunia internasional. Dengan cara mengembalikan peran Indonesia dalam kancah kehidupan regional maupun internasional, dalam mewujudkan tata kehidupan global baru yang adil dan damai. Di samping itu, perbaikan citra dilakukan dengan penanganan yang serius terhadap berbagai permasalahan di dalam negeri. Politik luar negeri dikembangkan dan dilaksanakan secara terencana dan sistematis, untuk mencapai sasaran-sasaran yang jelas.
Hal penting lainnya dalam rangka membangun masa depan kehidupan berbangsa adalah melalui kebijakan strategi kebudayaan nasional. Kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik dan multikultural. Ciri pluralistik, dengan keanekaragaman suku-suku bangsa dengan adat istiadatnya masing-masing, bahasa, tradisi, keragaman agama dan kepercayaan tradisional. Ciri multikultural, dengan melihat setiap suku bangsa sebagai kesatuan budaya dan kearifan lokal yang dimilikinya, masing-masing dengan keunggulan budayanya maupun hambatan budayanya. Keunggulan diangkat untuk didayagunakan sebaik-baiknya dalam pembangunan nasional, sedangkan hambatan budaya diatasi melalui pendekatan kultural yang seksama. Kepada anak-anak bangsa, sejak usia dini harus ditanamkan keyakinan bahwa penduduk negara kita yang multikultural merupakan suatu mozaik yang membentuk suatu gambar indah, dalam kesatuan bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Strategi kebudayaan nasional pada dasarnya merupakan strategi untuk membangun suatu pedoman bagi kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ciri bangsa Indonesia yang pluralistik dan multikultural menyebabkan strategi kebudayaan nasional harus diisi dengan nilai-nilai yang tepat, diantaranya prinsip mutualisme, yakni kebersamaan dan kerjasama yang memberi manfaat kepada semua pihak yang bekerjasama, bukan yang hanya searah dan menguntungkan satu pihak saja.
Strategi kebudayaan nasional Indonesia juga harus diisi dengan nilai-nilai yang mendorong kemajuan bangsa, dimulai dengan membangun manusia yang cerdas hidupnya, yang bukan hanya cerdas otaknya tetapi lebih penting lagi mempunyai kehidupan yang berharkat dan bermartabat tinggi, tidak rendah diri, sehingga mampu mendesain sendiri arah dan tujuan membangun bangsa dan negara, tanpa ketergantungan terhadap pihak asing, baik negara atau kekuatan asing. Dengan kata lain, menjadi tuan di negeri sendiri.
Dalam konteks ini nasionalisme merupakan landasan utama membangun negara. Dengan mempertahankan nasionalisme yang diperoleh melalui perjuangan kemerdekaan yang berat dan tangguh, kerjasama dengan dunia internasional dilandasi oleh prinsip kesetaraan dan kemitraan, bukan ketergantungan. Inilah yang harus ditanamkan pada bangsa Indonesia dalam pendidikan mengenai karakter dan pekerti bangsa. Banyak pihak, baik masyarakat awam, birokrat maupun intelektual sekalipun, dewasa ini sering tidak menyadari bahwa nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bangsa Indonesia telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa Indonesia secara serius sejak sebelum kemerdekaan dan tertuang pada Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945.
PENUTUP
Apabila kita catat kembali, sejak reformasi bergulir, berbagai perubahan mendasar telah terjadi, khususnya perubahan sistem politik ketatanegaraan di tanah air. Bangsa Indonesia melaksanakan kehidupan politik yang demokratis. Perubahan politik 1998, menempatkan bangsa Indonesia ke dalam fase transisi politik yang penuh tantangan dan gejolak. Bangsa Indonesia berada dalam proses penemuan jati diri kembali, dan oleh sebab itu pembangunan karakter bangsa menjadi sangat relevan untuk dilakukan dalam rangka menciptakan keharmonisan di dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa.
Dan, puji syukur alhamdulillah, fase transisi politik tersebut, relatif telah terlampau dengan baik. Sistem politik Indonesia telah berubah secara mendasar, pemilihan umum (pemilu) demokratis telah diberlangsungkan pada 1999 dan 2004, menandai berjalannya babak baru sejarah bangsa, dengan ragam permasalahan bangsa, antara lain: memudarnya tingkat keharmonisan antar elemen sosial dan politik bangsa; melemahnya internalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila; menggejalanya sentimen primordialisme dan sektarianisme; serta kompleksnya tingkat persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di berbagai bidang atau dimensi kehidupan.
Realitas permasalahan yang mengemuka tersebut memerlukan penyikapan dan penanganan bersama-sama, di mana segenap elemen bangsa bahu-membahu, dengan sikap optimis dan konstruktif dalam kesinambungan pembangunan. Bahwa pembangunan di segala bidang harus tetap berjalan dan berkembang maju, seiring dengan dinamika reformasi dan demokrasi di tanah air. Dengan pemahaman yang benar, niat yang tulus, serta tanggung jawab penuh kita sebagai warga bangsa, maka insya Allah, Indonesia kita tidak saja masih akan tetap eksis, tetapi survive, dan jaya –disegani oleh negara-negara lain, sebagai bangsa yang berdaulat, kuat, berwibawa dan mandiri.
Sumber : www.setneg.go.id
www.eramuslim.com
Senin, 07 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar